Keberadaan Pemalang dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan
arkeologis pada masa prasejarah. Temuan itu berupa punden berundak dan
pemandian di sebelah Barat Daya Kecamatan Moga. Patung Ganesa yang unik,
lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak. Selain itu bukti
arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga
dapat dihubungkan seperti adanya kuburan Syech Maulana Maghribi di
Kawedanan Comal. Kemudian adanya kuburan Rohidin, Sayyid Ngali paman
dari Sunan Ampel yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk
setempat.
Eksistensi Pemalang pada abad XVI dapat dihubungkan dengan catatan
Rijklof Van Goens dan data di dalam buku W FRUIN MEES yang menyatakan
bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah
merdeka di Pulau Jawa, yang dipimpin oleh seorang pangeran atau raja.
Dalam perkembangan kemudian, Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari
Mataram menaklukan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya
Pemalang. Sejak saat itu Pemalang menjadi daerah vasal Mataram yang
diperintah oleh Pangeran atau Raja Vasal.
Pemalang dan Kendal pada masa sebelum abad XVII merupakan daerah yang
lebih penting dibandingkan dengan Tegal, Pekalongan dan Semarang.
Karena itu jalan raya yang menghubungkan daerah pantai utara dengan
daerah pedalaman Jawa Tengah (Mataram) yang melintasi Pemalang dan
Wiradesa dianggap sebagai jalan paling tua yang menghubungkan dua
kawasan tersebut.
Populasi penduduk sebagai pemukiman di pedesaan yang telah teratur
muncul pada periode abad awal Masehi hingga abad XIV dan XV, dan
kemudian berkembang pesat pada abad XVI, yaitu pada masa meningkatnya
perkembangan Islam di Jawa di bawah Kerajaan Demak, Cirebon dan kemudian
Mataram.
Pada masa itu Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan
tradisional pada sekitar tahun 1575. Tokoh yang asal mulanya dari Pajang
bernama Pangeran Benawa. Pangeran uu asal mulanya adalah Raja Jipang
yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya.
Kedudukan raja ini didahului dengan suatu perseturuan sengit antara dirinya dan Aria Pangiri.
Sayang sekali Pangeran Benawa hanya dapat memerintah selama satu
tahun. Pangeran Benawa meninggal dunia dan berdasarkan kepercayaan
penduduk setempat menyatakan bahwa Pangeran Benawa meninggal di
Pemalang, dan dimakamkan di Desa Penggarit (sekarang Taman Makam
Pahlawan Penggarit).
Pemalang menjadi kesatuan wilayah administratif yang mantap sejak R.
Mangoneng, Pangonen atau Mangunoneng menjadi penguasa wilayah Pemalang
yang berpusat di sekitar Dukuh Oneng, Desa Bojongbata pada sekitar tahun
1622. Pada masa ini Pemalang merupakan apanage dari Pangeran Purbaya
dari Mataram. Menurut beberapa sumber R Mangoneng merupakan tokoh
pimpinan daerah yang ikut mendukung kebijakan Sultan Agung. Seorang
tokoh yang sangat anti VOC. Dengan demikian Mangoneng dapat dipandang
sebagai seorang pemimpin, prajurit, pejuang dan pahlawan bangsa dalam
melawan penjajahan Belanda pada abad XVII yaitu perjuangan melawan
Belanda di bawah panji-panji Sultan Agung dari Mataram.
Pada sekitar tahun 1652, Sunan Amangkurat II mengangkat Ingabehi
Subajaya menjadi Bupati Pemalang setelah Amangkurat II memantapkan tahta
pemerintahan di Mataram setelah pemberontakan Trunajaya dapat
dipadamkan dengan bantuan VOC pada tahun 1678.
Menurut catatan Belanda pada tahun 1820 Pemalang kemudian diperintah
oleh Bupati yang bernama Mas Tumenggung Suralaya. Pada masa ini Pemalang
telah berhubungan erat dengan tokoh Kanjeng Swargi atau Kanjeng
Pontang. Seorang Bupati yang terlibat dalam perang Diponegoro. Kanjeng
Swargi ini juga dikenal sebagai Gusti Sepuh, dan ketika perang
berlangsung dia berhasil melarikan diri dari kejaran Belanda ke daerah
Sigeseng atau Kendaldoyong. Makam dari Gusti Sepuh ini dapat
diidentifikasikan sebagai makam kanjeng Swargi atau Reksodiningrat.
Dalam masa-masa pemerintahan antara tahun 1823-1825 yaitu pada masa
Bupati Reksadiningrat. Catatan Belanda menyebutkan bahwa yang gigih
membantu pihak Belanda dalam perang Diponegoro di wilayah Pantai Utara
Jawa hanyalah Bupati-bupati Tegal, Kendal dan Batang tanpa menyebut
Bupati Pemalang.
Sementara itu pada bagian lain dari Buku P.J.F. Louw yang berjudul De
Java Oorlog Uan 1825 -1830 dilaporkan bahwa Residen Uan Den Poet
mengorganisasi beberapa barisan yang baik dari Tegal, Pemalang dan
Brebes untuk mempertahankan diri dari pasukan Diponegoro pada bulan
September 1825 sampai akhir Januari 1826. Keterlibatan Pemalang dalam
membantu Belanda ini dapat dikaitkan dengan adanya keterangan Belanda
yang menyatakan Adipati Reksodiningrat hanya dicatat secara resmi
sebagai Bupati Pemalang sampai tahun 1825. Dan besar kemungkinan
peristiwa pengerahan orang Pemalang itu terjadi setelah Adipati
Reksodiningrat bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berakibat
Belanda menghentikan Bupati Reksodiningrat.
Pada tahun 1832 Bupati Pemalang yang Mbahurekso adalah Raden
Tumenggung Sumo Negoro. Pada waktu itu kemakmuran melimpah ruah akibat
berhasilnya pertanian di daerah Pemalang. Seperti diketahui Pemalang
merupakan penghasil padi, kopi, tembakau dan kacang. Dalam laporan yang
terbit pada awal abad XX disebutkan bahwa Pemalang merupakan afdeling
dan Kabupaten dari karisidenan Pekalongan. Afdeling Pemalang dibagi dua
yaitu Pemalang dan Randudongkal. Dan Kabupaten Pemalang terbagi dalam 5
distrik. Jadi dengan demikian Pemalang merupakan nama kabupaten, distrik
dan Onder Distrik dari Karisidenan Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah.
Pusat Kabupaten Pemalang yang pertama terdapat di Desa Oneng.
Walaupun tidak ada sisa peninggalan dari Kabupaten ini namun masih
ditemukan petunjuk lain. Petunjuk itu berupa sebuah dukuh yang bernama
Oneng yang masih bisa ditemukan sekarang ini di Desa Bojongbata.
Sedangkan Pusat Kabupaten Pemalang yang kedua dipastikan berada di
Ketandan. Sisa-sisa bangunannya masih bisa dilihat sampai sekarang yaitu
disekitar Klinik Ketandan (Dinas Kesehatan).
Pusat Kabupaten yang ketiga adalah kabupaten yang sekarang ini
(Kabupaten Pemalang dekat Alun-alun Kota Pemalang). Kabupaten yang
sekarang ini juga merupakan sisa dari bangunan yang didirikan oleh
Kolonial Belanda. Yang selanjutnya mengalami beberapa kali rehab dan
renovasi bangunan hingga kebentuk bangunan Jogio sebagai ciri khas
bangunan di Jawa Tengah.
Dengan demikian Kabupaten Pemalang telah mantap sebagai suatu
kesatuan administratif pasca pemerintahan Kolonial Belanda. Secara
biokratif Pemerintahan Kabupaten Pemalang juga terus dibenahi. Dari
bentuk birokratif kolonial yang berbau feodalistik menuju birokrasi yang
lebih sesuai dengan perkembangan dimasa sekarang.
Sebagai suatu penghomatan atas sejarah terbentuknya Kabupten Pemalang
maka pemerintah daerah telah bersepakat untuk memberi atribut berupa
Hari Jadi Pemalang. Hal ini selalu untuk rnemperingati sejarah lahirnya
Kabupaten Pemalang juga untuk memberikan nilai-nilai yang bernuansa
patriotisme dan nilai-nilai heroisme sebagai cermin dari rakyat
Kabupaten Pemalang.
Penetapan hari jadi ini dapat dihubungkan pula dengan tanggal
pernyataan Pangeran Diponegoro mengadakan perang terhadap Pemerintahan
Kolonial Belanda, yaitu tanggal 20 Juli 1823.
Namun berdasarkan diskusi para pakar yang dibentuk oleh Tim Kabupaten
Pemalang Hari Jadi Pemalang adalah tanggal 24 Januari 1575. Bertepatan
dengan Hari Kamis Kliwon tanggal 1 Syawal 1496 Je 982 Hijriah. Dan
ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Kabupaten Pemalang
Nomor 9 Tahun 1996 tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang.
Tahun 1575 diwujudkan dengan bentuk Surya Sengkolo “Lunguding Sabdo
Wangsiting Gusti” yang mempunyai arti harfiah : kearifan, ucapan/sabdo,
ajaran, pesan-pesan, Tuhan, dengan mempunyai nilai 5751.
Sedangkan tahun 1496 je diwujudkan dengan Candra Sengkala “Tawakal
Ambuko Wahananing Manunggal” yang mempunyai arti harfiah berserah diri,
membuka, sarana/wadah/alat untuk, persatuan/menjadi satu dengan
mempunyai nilai 6941.
Adapun Sesanti Kabupaten Pemalang adalah “Pancasila Kaloka Panduning
Nagari” dengan arti harfiah lima dasar, termashur/terkenal,
pedoman/bimbingan, negara/daerah dengan mempunyai nilai 5751(*)
Sumber : Website Kab. Pemalang (http://www.pemalangkab.go.id)